Minggu, 26 Oktober 2014

Tatap Terakhir


Nyawaku masih tertinggal disana
Ruang yang meninggalkan bekas luka dalam dada
Ada kita, kurasa aku tak pantas menyebutnya lagi dengan sebutan itu
Sorot matamu menyinggung untuk segera kuberlalukan
Bukan lukanya, tetapi statusnya
Apa boleh buat, kututup kepedihan diraut wajah dengan selengkung senyuman
Meski tipis, kuharap kau tidak mengetahui bahwa itu adalah kepura-puraan

Kutatap wajahmu yang memberikan sekeryit perih
Menumbuhkan rindu yang kian tanpamu kusembunyikan
Kini, kau duduk dihadapanku
Bukan dengan selengkung senyum tulus, tetapi dengan seraut wajah mengucap selamat tinggal
Aku hanya menatap sendu, mengharap kau berubah pikiran
Untuk tetap tinggal, seperti apa yang telah kutahan dan kuperjuangkan
Apa boleh buat, keputusanmu  tak bisa kuganggu gugat layaknya sidang dipengadilan
Aku hanya mengiyakan tanpa melihat sudut mataku yang mulai membasah

Setelah kubiarkan, ternyata rinduku sudah berada pada puncaknya
Kudekapmu, tanpa kuperdulikan air mata yang sedari tadi kusembunyikan
Kuletakkan sebagian kecintaanku padamu agar dengan mudah kuberlalu seperti inginmu
Kulerai semua pedih, hingga kuharap akan hilang sendiri
Kuhantarkan sebagian rasa hingga kuharap kau mampu rasakan hebatnya getaran yang tak sempat kuutarakan
Kubilang aku selesai mengemis cintamu, bukan berarti aku selesai untuk berusaha selalu disisimu
Kulepasmu, dengan mantap kukatakan ‘’aku baik-baik saja’’
Yang sebenarnya banyak kejujuran dibalik kata ‘’aku baik-baik saja’’

Segera saja aku pergi dari sana agar rinduku tidak terlalu menggebu
Meskipun nyawaku masih tertinggal disana
Kubiarkan ia untuk hidup sementara waktu didalamnya
Kugenggam tanganmu tanpa menyentuhnya,
Dan sorot matamu yang terakhir membuatku menaruh seribu harap
Tanpa membuatmu merasa terganggu, aku memilih untuk diam

Sekarang, kutegaskan oleh semua  yang inginku segera pergi darimu
Aku punya alasan mengapa aku tidak pergi
Yang alasannya hanya mampu dimengerti olehku dan penciptaku dibumi
Tak perlu khawatir,
Aku punya Tuhan yang setiap saat selalu menemani

Kuharap Tuhan segera menamparmu agar kau sadar,

Dan memelukmu agar kau merasa lebih baik.

DIA

Setiap orang pasti pernah merasakan jatuh cinta. Apakah diantaranya juga pernah merasakan sulitnya merelakan ?

Aku tidak pernah berfikir bagaimana sakitnya kehilangan saat pertama bertemu dia. Sorot matanya memanjakanku, membawaku pada sebuah tempat dalam kenyamanan yang berbeda. Aku merasa takjub, dan batinku tak pernah mau berhenti untuk memeluk. Tapi saat hujan kala itu, ada yang memaksaku untuk berhenti memeluk . Biar kutebak, itu adalah kenyataan yang buruk.

Ternyata seperti ini rasanya kehilangan. Kehilangan yang membuat dadaku sesak, pikiranku tak terarah serta air disudut mata yang tak kunjung henti. Hatiku seperti tersayat olehnya, karenanya, dibuatnya. Keindahan kini berubah menjadi penderitaan. Perubahan yang selalu membawa  bayangnya, kisahnya, canda tawanya.  Kata  manisnya yang melintas dalam otakku membuat malamku muram, membuatku mengubah berhenti menjadi bertahan. Aku bertahan dalam sakitnya diabaikan, aku tetap mencintainya dalam perubahan.

Dia hilang. Bukan hilang dalam kehidupan nyata. Dia hanya hilang dalam kehidupanku, dia hanya pergi bersinggah pada kehidupan yang baru dengan orang yang baru. Kepergiannya tanpa pasti akan kembali. Kepergiannya membawa keraguanku untuk menunggunya datang kembali. Aku sendiri, disini, dalam tangis kepiluan menunggunya hadir kembali.

Adakah yang lebih sakit dari kehilangan ? pikirku. Ternyata ada. Aku ingat katanya, jika aku pergi bukan karena Tuhan, biarkan aku mencari jalanku sendiri untuk kembali padamu. Jangan sekali memaksaku kembali kepadamu hanya untuk kebahagiaanmu seorang diri. Biarkan Tuhan menunjukkan keadilannya.
Perkataannya membuatku terenyuh. Membuatku tak berkutik, aku terkunci. Aku terlalu bodoh untuk memahaminya. Aku terlalu buta untuk melihat kedepan. Aku terlalu tuli untuk mendengarkan nasihat orang lain.  Inilah bagian tersulit, inilah bagian yang paling menyakitkan. Aku harus merelakan.