Selasa, 25 Juni 2013

Setitik masalah

“Sekecil apapun masalah sebaiknya diselesaikan secepatnya dengan penuh ketenangan”

Langit berubah warna pun, kau takkan pernah tahu jika buta warna. Sama seperti perasaanku yang bertabur cemas ini. Sana-sini otakku berjalan seribu kali keliling untuk menemukan solusi, tapi tak pernah sekalipun kutemui. Memangnya kau tahu? Mengerti? Bukankah sama? Hatimu buta, tak mau mengerti. Seharusnya keberadaanmu disini dapat mendekapku dari rengkuhan kecemasan karena masalah yang menggelora. Bukan justru kau mendorongku hingga aku sampai pada titik keputus asaan.

Hari ini , Langit pagi di Jakarta kelabu. Kesejukannya menyentuh lembut relung hati dan membawaku sedikit pada ketenangan. Selamat pagi kota Jakarta, aku memang pendatang, tapi kurasa bertahun-tahun aku tinggal disini kita cukup bersahabat. Coba dengar, disini aku bersama banyak orang, tapi saat aku termenung sendiri mereka tidak mendekap memberikan kenyamanan dan ketenangan. Mereka hanya mendesakku ini itu membuatku merasa tertekan. Lalu bagaimana jika aku pergi darimu ? apa kelak aku kembali kau masih mengingatku? .

Aktivitas yang begitu mengejar membuatku merasa lelah untuk berlari lagi. Kakiku kehilangan kekuatan dan berhenti dengan sendirinya untuk bersimpuh lalu tertubruk. Tuhan, aku lelah. Rasanya aku ingin sekali tertidur beratus-ratus hari dalam dekapanMu. Kemudian kau kembalikan Ruhku ketika masalah kian lenyap oleh tanganMu.

Terlintas dalam pikiranku untuk pindah kota. Demi menghindari masalah yang kian hari bagai epidemi menjalar kedalam otak. Di kota berbeda aku akan membuka lembar baru dengan hidup penuh kenyamanan dan ketentraman. Fokuskan pendidikan hingga sampai pada apa yang kucita-citakan. Terbebas dari segala aktivitas yang membuatku kelelahan untuk terus tegap berdiri. Tapi, apa semua itu akan berhasil ? meninggalkan masalah begitu saja ? bukankah hal tersebut akan membebankan pikiran ? bukankah justru membuat diri terhantui ?. Sekecil apapun masalah sebaiknya diselesaikan secepatnya dengan penuh ketenangan. Ya ! aku mengerti .


Kini waktunya aku berbicara pada hati kecil dan kembali menyusuri jalan pada otak hingga menemui solusi yang tepat. Dan aku akan berhenti menghitung mundur untuk melangkahkan kaki menjauh dari kota ini, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar